PEMIMPIN DALAM PANDANGAN AL QUR'AN (2/2)

Tampaknya amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu

sedemikian berat; apatah lagi ditambah amanah keduniawian berupa

kekuasaan.

Sudah jelas bahwa dua golongan pertama, munafik dan musyrik, bukan

saja gagal menerima amanah keagamaan namun harus dipandang tidak juga

layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah berikut

ini : "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa

kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah

berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh

manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku".

Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim"."

Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah,

yaitu golongan mu'min. Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu'min yang

layak menerima amanah itu sebagai Mu'min yang diterima tobatnya?

Rupanya, Allah tahu bahwa seorang pemimpin tidak bebas dari kesalahan.

Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah ternyata juga sempat melakukan

perbuatan tercela. Namun mereka segera bertaubat (lihat Qs 7: 23 dan Qs

38: 25). Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia mengakui

kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan

isitighfar pada Allah swt. sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri

ketika berhadapan dengan Dzat Yang Maha Agung.

Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26,

"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka

bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari

jalan Allah." Allah sebagai pemberi amanah dari "langit" menentukan bahwa

pemimpin itu harus menegakkan hukum (law enforcement) dan keadilan serta

menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa keadilan, yang berlaku

adalah "hukum rimba": siapa yang kuat(mungkin harus dibaca: siapa yang

punya pasukan), maka dialah yang menang. Hawa nafsu adalah godaan terus

menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk menyimpang dari

kebenaran. Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus memperkaya diri

sementara rakyat makan tiwul.

Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk "bumi" yang juga

telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), "Berilah keputusan antara

kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan

tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat)." Pesan

dari "langit" akan keadilan dan kebenaran rupanya juga cocok dengan

kebutuhan penduduk "bumi". Namun ada satu tambahan, yaitu, masyarakat juga

menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan sawa'i

al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat

wa al-'Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk

kepada tujuan atau maksud-maksud yang benar. Ini berarti pemimpin tidak

boleh memberi informasi yang keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh

menyembunyikan informasi yang benar, layak, pantas dan harus diketahui

oleh masyarakat. Pemimpin juga harus menjadi teladan agar yang dipimpin

merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan masyarakat.

Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus "meluruskan" dirinya

terlebih dahulu.

Dr. Quraish Shihab menganggap ayat berikut ini cukup pantas ditelaah dan

dijalankan oleh para pemimpin sebagai mewakili sebagian besar ayat lain

yang berbicara tentang tugas-tugas seorang khalifah. "(yaitu) orang-orang

yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka

mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan

mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala

urusan (QS 22: 41)." Beliau memberi keterangan:

"Mendirikan sholat merupakan gambaran dari hubungan yang baik dengan

Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari keharmonisan

hubungan dengan sesama manusia. Ma'ruf adalah suatu istilah yang berkaitan

dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan

sebaliknya dengan Munkar. Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi

kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk

menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan

masyarakatnya harmonius, dan agama, akal dan budayanya terpelihara."

Adakah pemimpin seperti itu? Bukankah sejarah telah mencatat sejumlah

pemimpin yang berlumuran darah dan dihujat rakyat akibat berlaku zalim?

Yang jarang diketahui orang, sejarah juga mencatat kisah berikut ini:

"Raja Anusyirwan sedang berburu. Dia memasuki sebidang kebun dalam keadaan

yang sangat haus. Baginda melihat banyak pohon delima. Kepada anak penunggu

kebun, raja berkata, "Berikan kepadaku sebutir delima." Delima itu ternyata

sangat manis dan airnya yang lezat keluar melimpah. Raja begitu terkesan

sehingga terlintas dibenaknya untuk menguasai kebun itu. Pada kali yang

kedua, dia meminta lagi sebutir delima. Namun kali ini rasanya kecut. Raja

keheranan sambil berkata pada si penjaga kebun,"Mengapa rasanya jadi

begini?" Sang penjaga kebun menjawab, "Mungkin ada raja di negeri ini yang

bermaksud berbuat zalim. Karena niat jeleknya maka delima ini menjadi

kecut." Raja terkejut, dan beristighfar dalam hatinya. Tak lama kemudian,

raja meminta lagi sebutir delima. Kali ini rasanya menjadi kembali nikmat

seperti butir yang pertama."

Al-Qur'an telah menuntun kita untuk memberi amanah kepada pemimpin yang

menjalankan agamanya dengan baik, mengakkan hukum dan keadilan, berpegang

pada kebenaran, lekas bertobat bila keliru, memberi informasi yang benar

pada rakyatnya, tidak menurutkan hawa nafsu dan selalu membina hubungan

baik kepada Allah dan masyarakat. Pemimpin yang seperti ini akan

menyebarkan berkah disekelilingnya. Sebaliknya, kegagalan memilih pemimpin

yang sesuai dengan nilai normatif Qur'ani, bukan saja menebar musibah

dikalangan manusia, namun akan membuat buah yang manis menjadi kecut,

tanah yang subur menjadi kering, dan keberkahan menjadi hilang.

Wa Allahu A'lam bi al-Shawab

-----------

*) Dibacakan pada Pengajian Bulanan Al-Hikmah, UNE, Armidale, NSW pada

Sabtu 6 Maret 1999 oleh Nadirsyah Hosen.

al-Maraji' : 1. Al-Nukat wa al-'Uyun li al-Imam al-Mawardi; 2. Al-Tafsir

An-Nur li Wahbah Az-Zuhaili; 3. Musnad Ahmad li al-Imam Ahmad bin Hanbal;

4. Dr. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung, Mizan, 1992; 5.

Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, Bandung, Pustaka Hidayah, 1998; 6.

Al-Ahkam al-Sulthaniyah li al-Imam al-Mawardi []

==============================================

Nadirsyah Hosen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal