Tampaknya amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu
sedemikian berat; apatah lagi ditambah amanah keduniawian berupa
kekuasaan.
Sudah jelas bahwa dua golongan pertama, munafik dan musyrik, bukan
saja gagal menerima amanah keagamaan namun harus dipandang tidak juga
layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah berikut
ini : "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku".
Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim"."
Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah,
yaitu golongan mu'min. Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu'min yang
layak menerima amanah itu sebagai Mu'min yang diterima tobatnya?
Rupanya, Allah tahu bahwa seorang pemimpin tidak bebas dari kesalahan.
Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah ternyata juga sempat melakukan
perbuatan tercela. Namun mereka segera bertaubat (lihat Qs 7: 23 dan Qs
38: 25). Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia mengakui
kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan
isitighfar pada Allah swt. sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri
ketika berhadapan dengan Dzat Yang Maha Agung.
Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26,
"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah." Allah sebagai pemberi amanah dari "langit" menentukan bahwa
pemimpin itu harus menegakkan hukum (law enforcement) dan keadilan serta
menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa keadilan, yang berlaku
adalah "hukum rimba": siapa yang kuat(mungkin harus dibaca: siapa yang
punya pasukan), maka dialah yang menang. Hawa nafsu adalah godaan terus
menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk menyimpang dari
kebenaran. Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus memperkaya diri
sementara rakyat makan tiwul.
Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk "bumi" yang juga
telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), "Berilah keputusan antara
kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan
tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat)." Pesan
dari "langit" akan keadilan dan kebenaran rupanya juga cocok dengan
kebutuhan penduduk "bumi". Namun ada satu tambahan, yaitu, masyarakat juga
menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan sawa'i
al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat
wa al-'Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk
kepada tujuan atau maksud-maksud yang benar. Ini berarti pemimpin tidak
boleh memberi informasi yang keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh
menyembunyikan informasi yang benar, layak, pantas dan harus diketahui
oleh masyarakat. Pemimpin juga harus menjadi teladan agar yang dipimpin
merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan masyarakat.
Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus "meluruskan" dirinya
terlebih dahulu.
Dr. Quraish Shihab menganggap ayat berikut ini cukup pantas ditelaah dan
dijalankan oleh para pemimpin sebagai mewakili sebagian besar ayat lain
yang berbicara tentang tugas-tugas seorang khalifah. "(yaitu) orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan (QS 22: 41)." Beliau memberi keterangan:
"Mendirikan sholat merupakan gambaran dari hubungan yang baik dengan
Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari keharmonisan
hubungan dengan sesama manusia. Ma'ruf adalah suatu istilah yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan
sebaliknya dengan Munkar. Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi
kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk
menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan
masyarakatnya harmonius, dan agama, akal dan budayanya terpelihara."
Adakah pemimpin seperti itu? Bukankah sejarah telah mencatat sejumlah
pemimpin yang berlumuran darah dan dihujat rakyat akibat berlaku zalim?
Yang jarang diketahui orang, sejarah juga mencatat kisah berikut ini:
"Raja Anusyirwan sedang berburu. Dia memasuki sebidang kebun dalam keadaan
yang sangat haus. Baginda melihat banyak pohon delima. Kepada anak penunggu
kebun, raja berkata, "Berikan kepadaku sebutir delima." Delima itu ternyata
sangat manis dan airnya yang lezat keluar melimpah. Raja begitu terkesan
sehingga terlintas dibenaknya untuk menguasai kebun itu. Pada kali yang
kedua, dia meminta lagi sebutir delima. Namun kali ini rasanya kecut. Raja
keheranan sambil berkata pada si penjaga kebun,"Mengapa rasanya jadi
begini?" Sang penjaga kebun menjawab, "Mungkin ada raja di negeri ini yang
bermaksud berbuat zalim. Karena niat jeleknya maka delima ini menjadi
kecut." Raja terkejut, dan beristighfar dalam hatinya. Tak lama kemudian,
raja meminta lagi sebutir delima. Kali ini rasanya menjadi kembali nikmat
seperti butir yang pertama."
Al-Qur'an telah menuntun kita untuk memberi amanah kepada pemimpin yang
menjalankan agamanya dengan baik, mengakkan hukum dan keadilan, berpegang
pada kebenaran, lekas bertobat bila keliru, memberi informasi yang benar
pada rakyatnya, tidak menurutkan hawa nafsu dan selalu membina hubungan
baik kepada Allah dan masyarakat. Pemimpin yang seperti ini akan
menyebarkan berkah disekelilingnya. Sebaliknya, kegagalan memilih pemimpin
yang sesuai dengan nilai normatif Qur'ani, bukan saja menebar musibah
dikalangan manusia, namun akan membuat buah yang manis menjadi kecut,
tanah yang subur menjadi kering, dan keberkahan menjadi hilang.
Wa Allahu A'lam bi al-Shawab
-----------
*) Dibacakan pada Pengajian Bulanan Al-Hikmah, UNE, Armidale, NSW pada
Sabtu 6 Maret 1999 oleh Nadirsyah Hosen.
al-Maraji' : 1. Al-Nukat wa al-'Uyun li al-Imam al-Mawardi; 2. Al-Tafsir
An-Nur li Wahbah Az-Zuhaili; 3. Musnad Ahmad li al-Imam Ahmad bin Hanbal;
4. Dr. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung, Mizan, 1992; 5.
Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, Bandung, Pustaka Hidayah, 1998; 6.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah li al-Imam al-Mawardi []
==============================================
Nadirsyah Hosen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal