Cita-Cita Islam dalam Membentuk Masyarakat Qurani



Banyak tokoh Islam yang berbicara tentang cita-cita Islam, tetapi sering terbawa oleh situasi masanya. Padahal, harus dibedakan antara doktrin Islam dan konsepsi manusia. Pertama, doktrin Islam bersifat sakral dan pasti kebenarannya, karena datang dari Sang Maha Kuasa, sedangkan konsep manusia tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat nisbi.

Kedua, antara konsep Islam ideal dan realitas kehidupan manusia harus diupayakan sedemikian rupa untuk dapat diaplikasikan secara indah dan manusiawi demi mencapai keadilan dan kesejahteraan. Berbeda dengan teori politik al-Farabi dalam Negara Utamanya yang cenderung terlalu idealis dan utopis sehingga konsepnya hanya cocok bagi masyarakat malaikat. Kita melihat para tokoh politik Islam seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, al-Mawardi, al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun lebih realistis ketika mereka meninjau politik Islam dari perspektif sosiologis yang bermuara kepada ajaran Islam. Hanya saja, pada masa modern ini konsepsi politik Islam itu perlu dikemas lebih canggih dan menarik, tetapi tidak berkacamata dan mengadopsi pemikiran politik Barat yang pada umumnya para pemikir politik Islam kontemporer terlalu inferiority complex. Sehingga muncullah istilah-istilah seperti "demokrasi" dan konsep "civil society", kemudian dilegitimasi dengan dasar-dasar Islam. Ini bukan suatu kemajuan, tetapi suatu kemunduran.

Alquran dan Masyarakat Islam

Benar apa yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa umat Islam dewasa ini tidak akan berjaya manakala tidak mengikuti jejak para pendahulu mereka. Sebagaimana Alquran menegaskan, "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah (|Alquran) dan jangan tercerai-berai...." (Ali Imran: 103). Demikian juga Rasulullah saw memperingatkan umatnya, "Kutinggalkan untuk kalian dua pegangan, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya: Alquran dan sunnahku." (HR Malik).

Kenyataannya, umat banyak yang tidak lagi berpegang kepada sumber itu, kecuali hanya slogan. Padahal, di dalam Alquran terdapat petunjuk-petunjuk bagaimana terbentuknya suatu masyarakat ideal dan praktik Nabi Muhammad saw dengan masyarakat Qurani itu nyata sebagai realitas sosial dan berkelanjutan pada masa-masa berikutnya. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah bahwa Allah memberikan petunjuk bagi tercapainya masyarakat Qurani dengan turunnya surat An-Nur ayat 55 yang artinya, "Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dari kalian dan beramal saleh, bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaiman dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku, dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas bahwa itu janji Allah kepada Rasulullah saw yang akan menjadikan umatnya sebagai penguasa-penguasa di muka bumi. Sehingga, negara-negara menjadi makmur dan rakyat menjadi patuh... dan janji itu terjelma sebelum Nabi Muhammad saw wafat, yaitu bermula dari penaklukan Mekah, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab dan Yaman.

Ibnu Taimiyah berkomentar atas ayat itu bahwa kebaikan penguasa bergantung kepada kesungguhannya mengikuti Alquran dan sunnah Rasul-Nya serta mengajak rakayatnya untuk mengikutinya. Dan, Allah menjadikan kebaikan penguasa itu pada empat hal: (1) mendirikan salat; (2) menunaikan zakat; (3) amar ma'ruf; (4) nahi mungkar. Sang pengusa mengajak mendirikan salat berjamaah bersama para pembantunya dan menyuruh rakyatnya mendirikan salat serta menghukum mereka yang teledor melaksanakannya sesuai dengan hukum Allah. Dengan tegaknya ketentuan Alquran itu akan dicapai masyarakat Qurani yang dapat menegakkan habluminallah (hubungan vertikal) dan hablunminanas (hubungan horizontal) yang berarti memadukan dua kemaslahatan.

Masyarakat Qurani itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum Alquran. Dan, Alquran meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam mengatur dan mengendaikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice (keadilan), deliberation (syura), equality (persamaan), dan freedom (kebebasan). Orientasi politik Islam menurut Alquran menekankan pada tauhid, syariah, dan program ketakwaan.

Nabi Muhammad dan Masyarakat Qurani

Allah SWT tidak hanya menurunkan ajaran dan doktrin bagi umat manusia, tetapi juga menurunkan nabi-Nya untuk memberi contoh dan memimbing umat manusia menuju kepada keadilan Islam dunia. Kalau kita perhatikan, proses yang dilakukan Nabi dalam membentuk masyarakat Qurani, yang sebelumnya terkenal dengan masyarakat jahili, ada lima jalan yang ditempuhnya:
Pertama, nabi membangun aqidah umat selama berada di Mekah untuk mempersiapkan diri menerima tanggung jawab mengemban tugas risalah dan khalifah. Proses ini dilakukan paling lama sekitar 13 tahun. Setelah matang, Nabi mengutus mereka untuk menyebarkan misi dakwah, seperti Mush'ab bin Umair dikirim ke Madinah dan sebagian dikirim ke ethiopia. Ketika dakwah sudah menampakkan hasilnya dan tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah ada orang yang masuk Islam, maka keadan ini sangat tepat bagi umat Islam di Mekah (yang selalu ditindas kaum jahiliyah) untuk berhijrah meninggalkan tempat asalnya.

Kedua, Nabi memerintahkan kepada seluruh sahabat agar berhijrah ke Madinah. Dan yang menarik adalah bahwa sesampai di Madinah, pertama yang dilakukan Nabi untuk pembinaan umat adalah membangun masjid Nabawi sebagai sentral kegiatan dan aktifitas umat Islam. Penempaan kaderisasi terus berlanjut di masjid tersebut.

Ketiga, Nabi mempersaudarakan antarumat Islam. Mereka yang berasal dari Mekah disebut Muhajirin, sementara yang berasal dari Madinah disebut Anshor. Hal itu dilakukan untuk merekatkan umat Islam sehinga tidak mudah diadu domba.

Keempat, Nabi membuat "Piagam Madinah" untuk mengatur hubungan dengan masyarakat Etnis lain, yaitu ahlul kitab dari bangsa Yahudi, sekaligus upaya pembentengan bagi masyarakat muslim.

Kelima, Nabi melakukan ekspedisi perang bagi siapa saja yang ingin memaksakan kehendaknya untuk merusak tatanan masyarakat muslim. Maka, beliau tampil sebagai penglioma perang. Dengan demikian, terbentuklah masyarkat muslim Madinah yang mengejawantahkan Allah pada ayat di atas.

Ciri-Ciri Masyarakat Qurani

Ajaran Alquran selalu berpijak kepada umat manusia, artinya bahwa Alquran selalu memperhatikan maslahat dan kepentingan umat manusia, karenanya para ulama sepakat bahwa apabila konsep Alquran ditetapkan dalam suatu masyarakat tertentu akan mendapatkan palig tidak lima hal pokok:
1. terjaga agamanaya;
2. terjaga jiwanya;
3. terjaga hartanya;
4. terjaga akalnya; dan
5. terjaga kehormatannya.

Demikian uraian singkat tentang cita-cita Islam dalam membentuk masyarakat Qurani dan kita tidak perlu terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis. (Farid Achmad Okbah)

Referensi:
1. Alquran dan terjemahannya
2. Ikhtisar M. Ali Shabani, Ibnu Katsir
3. Majmu Fatawa, Ibnu taimiyah
4. Pedoman Beragama, Yususf al-Qardhawy
5. Islam dan Politik, M. Din Syamsudin

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal