PEMIMPIN DALAM PANDANGAN AL-QUR'AN (1/2)

Ada dua ayat al-Qur'an yang menggunakan kata Khalifah. Pertama, Qs

al-Baqarah: 30, "Inni ja'il fi al-ardh khalifah," dan kedua, QS al-Shad:

26, "Ya Dawud Inna ja'alnaka khalifah fi al-ardh.". Dr. M. Quraish Shihab

menjelaskan bahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur'an untuk siapa

yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam

hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial

atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa

sejarah kemanusiaan; (2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara

aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa

nafsu. Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak

mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).

Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai

khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku)

Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna

(sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan

bentuk plural, selain berarti li ta'zhim, juga bisa bermakna mengandung

keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya,

maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat

keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih

langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.

Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi tetapi juga penguasa

kerajaan ("Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya

hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih

oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat. Pada titik ini penafsiran

Imam al-Mawardi, terhadap ayat QS. 4:58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu

menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)

apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat," patut

dikedepankan. Imam al-Mawardi, pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah,

menjelaskan bahwa karena ada yang memberi amanah dan ada yang menerima

amanah, maka terjalinlah hubungan sosial diantara kedua belah pihak.

Ratusan tahun setelah Imam Al-Mawardi wafat, barulah muncul di Barat teori

kontrak sosial yang sebenarnya embrionya telah dimulai oleh penafsiran

al-Mawardi.

Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, pemimpin yang diangkat

oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan

masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa

penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya

kepada si pemberi amanah, yaitu pada "pengadilan" masyarakat di dunia, dan

"pengadilan" Allah swt di Padang Mahsyar nanti.

Berkenaan dengan pemberian amanah, ada satu ayat yang cukup

menyentak kita: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada

langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat

itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu

oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh," QS 33:

72

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa

amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif)

syar'i, seperti sholat, puasa dan lainnya. Lebih jauh Az-Zuhaili

menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah

terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan

batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat

manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi

menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS

33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis:

kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau

diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua,

golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun

terang-terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu'minun,

yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.

==============================================

Nadirsyah Hosen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal