Ada dua ayat al-Qur'an yang menggunakan kata Khalifah. Pertama, Qs
al-Baqarah: 30, "Inni ja'il fi al-ardh khalifah," dan kedua, QS al-Shad:
26, "Ya Dawud Inna ja'alnaka khalifah fi al-ardh.". Dr. M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur'an untuk siapa
yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam
hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial
atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa
sejarah kemanusiaan; (2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara
aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa
nafsu. Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak
mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai
khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku)
Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna
(sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan
bentuk plural, selain berarti li ta'zhim, juga bisa bermakna mengandung
keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya,
maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat
keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih
langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.
Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi tetapi juga penguasa
kerajaan ("Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya
hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih
oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat. Pada titik ini penafsiran
Imam al-Mawardi, terhadap ayat QS. 4:58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat," patut
dikedepankan. Imam al-Mawardi, pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah,
menjelaskan bahwa karena ada yang memberi amanah dan ada yang menerima
amanah, maka terjalinlah hubungan sosial diantara kedua belah pihak.
Ratusan tahun setelah Imam Al-Mawardi wafat, barulah muncul di Barat teori
kontrak sosial yang sebenarnya embrionya telah dimulai oleh penafsiran
al-Mawardi.
Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, pemimpin yang diangkat
oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan
masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa
penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya
kepada si pemberi amanah, yaitu pada "pengadilan" masyarakat di dunia, dan
"pengadilan" Allah swt di Padang Mahsyar nanti.
Berkenaan dengan pemberian amanah, ada satu ayat yang cukup
menyentak kita: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh," QS 33:
72
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa
amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif)
syar'i, seperti sholat, puasa dan lainnya. Lebih jauh Az-Zuhaili
menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah
terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan
batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat
manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi
menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS
33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis:
kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau
diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua,
golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun
terang-terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu'minun,
yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.
==============================================
Nadirsyah Hosen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal