AL KAAFIRUN


(Orang-orang kafir, surat ke-109)

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha

Penyayang.

1. Katakanlah : " Hai orang-orang kafir !

2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah

3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah

4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang

kamu sembah

5. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah

Tuhan yang aku sembah

6. Untukmu agamaku, dan untukkulah agamaku "

Surat pendek ini termauk golongan surat Makkiyah, yang merupakan

pengajaran Allah kepada orang yang beriman dalam hal menjawab ajak-

an kaum Quraish waktu itu, yang meminta rasulullah Muhammad untuk

mau menyembah tuhan-tuhan mereka dan mereka bersedia menyembah tu-

hannya, serta menghentikan caci-maki terhadap tuhan-tuhan mereka

dan cara ibadah mereka. Jawaban yang merupakan pemutus dan penetap

sistem penyembahan manusia mukmin dan bukan mukmin.

Bukan itu saja, bahkan Allah memerintahkan rasulullah agar menya-

takan "kafir" bagi mereka itu, tidak sebagai orang yang beragama

atau orang yang percaya. Allah menihilkan mereka. Padahal diketahui

bahwa, orang Arab waktu mengakui dan percaya kepada Allah.

" Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah

yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan

bulan, niscaya mereka akan mengatakan: Allah "

(Al Ankabut : 61)

" Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah

yang menurunkan air dari langit, lalu menghidupkan dengan

air itu bumi sesudah matinya, tentu mereka akan menjawab:

Allah "

(Al Ankabut : 63)

Bahkan dalam sumpah-sumpah mereka selalu disebut "wallahu", "tallahu",

atau kalau mereka berdo'a mereka pun mengucapkan, "allahuma". Mereka

percaya akan eksistensi Allah, mereka bukan atheis. Mereka berkeya-

kinan, bahwa mereka mengikuti agama Ibrahim yang lurus, dan mereka

merasa paling mendapat petunjuk ketimbang ahli kitab yang hidup ber-

sama mereka di jazirah Arab, dimana kaum Yahudi berkata "Uzair itu

anak Allah", atau kaum Nasrani yang mengatakan bahwa, "Isa itu anak

Allah", sementara mereka menyembah malaikat dan jin yang mereka

anggap paling dekat dengan Allah. Mereka meberikan sajian-sajian

kepada berhala-berhala namun juga memberi sajian kepada Allah

(Al An'am 136-140).

Namun, tak ada kompromi dalam soal aqidah. Aqidah hanya satu,

tauhidul aqidah. Tak bisa Allah dinomor-duakan--berhala dahulu baru

Allah, atau Allah juga berhala juga. Yang ada hanya Allah. La ilah

ha illallah, tiada ilah--tiada yang paling ditakuti, tiada yang

paling dicintai, tiada yang paling diikuti--, tiada yang mendomi-

nasi kehidupan manusia, tiada yang berkuasa atas diri, jiwa, akal

dan aktifitas kita, tiada yang kita sembah, tiada, sekali lagi

tiada lain selain Allah Rabbulalamin. Allahlah penentu kepada siapa

kita mesti berkasih-sayang, kepada siapa kita mesti bersikap lembut

dan kepada siapa kita mesti bersikap keras. Allahlah pemutus perbua-

tan apa yang sangat Dia suka dan perbuatan apa yang mesti kita ting-

galkan. Allah saja yang mesti kita ikuti, makanan apa yang boleh

kita makan dan makanan mana saja yang mesti kita jauhkan. Dan sekali

lagi hanya Allah yang mengatur pemimpin seperti apa yang pantas kita

pilih dan angkat, lembaga apa yang mesti kita dirikan, serta forum

apa yang mesti kita ramaikan. Aqidah hanya untuk Allah, hidup dan

mati kita hanya untuk Allah, Al Khalik, Al Malik manusia. Inilah

aqidah yang murni.

Manakala dalam hati kita ada pembenaran, dari lidah ada ucapan,

dan muncul tindakan dalam suatu detik yang betentangan dengan pe-

rintah Sang Maha Pengatur, Sang Hakim Agung, maka pada detik itu,

batallah syahadah--batal janji dan sumpah agung kita kepada Allah,

maka keluarlah kita detik itu dari Islam. Inilah konsekuensi logis

dari syahadah.

Dalam point di atas, menjadi penting istighfar dan kembali ber-

syahadah. Apakah ilmu yang kita geluti, riset yang mengasyikkan

telah demikian menguasai hidup kita dan menjadi ghoyah (tujuan) kita,

atau tetap merupakan alat/sarana dalam rangka penghambaan kepada

Allah, dalam rangka menyiapkan apa-apa yang mesti disiapkan dan dalam

rangka tafakur alam ? Apakah istri, anak, materi, pangkat, perniaga-

an yang kita usahakan sudah demikian kita cintai melebihi kecintaan

kita kepada Allah, rasulNya dan, jihad dijalanNya, atau tetap karu-

nia ini kita syukuri dan kita jadikan modal sehubungan dengan pene-

gakkan kalimatullah ? Apakah teman yang kita pilih, pemimpin yang

kita angkat, musuh yang kita jauhi, forum yang kita datangi, tulis-

an-tulisan yang kita postingkan diisi dengan ruh pengabdian kepada

Allah, dalam rangka mencari ridlaNya, dan karenaNya atau hanya

sekedar untuk kepuasan bathin/hawa nafsu belaka ?

Kita mesti selalu bermuhasabah, dan jawaban semua ini hanya sah

kalau diberikan hati yang jujur. Jawaban pun bukan berupa kata tapi

rasa dan amal.

Bila tidak kitapun akan terkena ayat-ayat di atas.

Kul, katakanlah: Hai orang-orang kafir! Jalan kalian berbeda dengan

jalan kami. Tidak ada jembatan yang disambungkan antara keduanya.

Jangan harap akan bertemu di tengah jalan, baik masa lalu maupun

di masa depan. Berbeda, jauh, dan dalam. Dan tak ada kompromi soal

jalan ini.

Wallahu a'lam bishowab

abu zahra

keywords: Al Kaafirun, Aqidah, tak ada kompromi.

Pustaka: tafsir Fi Zhilaalil Qur'an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal