Al-Irsyad Al-Islamiyyah



Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis) merupakan tiga serangkai organisasi Islam pembaharu yang paling berpengaruh di Indonesia. Pada awal abad XX telah lahir sejumlah tokoh elit Muslim. Mereka memiliki semangat pembaharuan dalam pemikiran keagamaan.

Semangat reformasi itu datang bersamaan dengan maraknya perkembangan ide-ide reformasi yang berkembang di Timur Tengah. Pada pertengahan abad XVIII, di Jazirah Arab muncullah gerakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787). Gerakan ini merupakan tanggapan nyata dari pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya yang terkenal Ibn Qayyim Al-Jauziyah (1292-1350) dua orang tokoh reformis Islam yang memberi ciri awal munculnya renesans dunia Islam, untuk kembali kepada kemurnian Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Pada awal pekembangannya, Islam di Indonesia terutama pula Jawa yang juga pusat Kerajaan Hindu-Jawa, mengalami tantangan yang sungguh berat. Di mana pada umumnya keadaan masyarakat sudah memiliki keyakinan yang mendarah daging dengan kebudayaan Hindu yang kental. Akan tetapi perkembangan agama Islam di Indonesia terutama di Jawa menjadi pesat diantaranya karena peran yang cerdik dan kemampuan berdakwah yang handal dari tokoh-tokohnya pada jaman yang terkenal dengan sebutan "Wali Sanga/Wali sembilan." Tokoh Islam yang terkemuka pada jamannya itu, berdakwah menyebarkan agama dengan contoh ketauladanan dan kemampuan spiritualnya yang tinggi serta mengikuti atau menyiasati keadaan tradisi dan kebudayaan setempat dengan mendahulukan pemahaman tata cara beribadah dan mengesampingkan pemahaman aqidah. Sehingga tidak terjadi pergolakan atau kegaduhan dengan tradisi masyarakat setempat. Hal ini mungkin menurut pertimbangan tokoh-tokoh Islam yang arif pada jamannya itu sebagai metode dakwah yang tepat dengan berpegang teguh kepada "bil hikmah wal mau'izhah hasanah."Dan pada masanya nanti diharapkan akan datang para pendakwah dan mubaligh yang gigih mengajarkan pemahaman aqidah yang murni.

Keadaan perkembangan agama Islam dengan wawasan aqidah yang kurang tersebut pada umumnya di kalangan masyarakat, terus berjalan sampai kemudian muncul tokoh-tokoh muda reformis dengan menekankan kepada pemahaman aqidah yang murni bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari sinilah kemudian perkembangan pemikiran Islam mulai tumbuh dan tidak dipungkiri merupakan hal yang mesti terjadi adalah perang urat saraf, pergolakan pemikiran antara pro pembaharu dengan pemikiran moderat gaya Wali Sembilan. Kelompok tersebut bermuara sampai sekarang pada kelompok-kelompok terbesar di Indonesia, yaitu dari kalangan NU (Nahdlatul 'Ulama) yang moderat dan kelompok elitis kalangan cendekiawan yaitu Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persis (Persatuan Islam) yang pro pembaharu yang merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahakan hingga saat ini. Walaupun sekarang terlihat pola-pola pemikiran NU cenderung terjadi perubahan dimana yang dahulunya hanya menganut satu mazhab yaitu Imam Syafii dengan ciri khas tradisi ke-Nu-annya, sekarang sudah banyak pemikirannya yang lintas mazhab tetapi dikalangan bawah perbedaan di dua kelompok besar itu sangat kental. Sehingga kita dapat melihat warga NU jum'atan di masjid NU, warga Muhammadiyah Jum'atan di masjid Muhammadiyah hanya karena persoalan masalah adzan dalam shalat Jum'at dimana untuk warga Nahdliyin dengan menggunakan dua adzan sementara kalangan Muhamadiyah hanya satu adzan. Ini adalah salah satu perbedaan furu'iyah yang memang mesti terjadi dan tidak mungkin menyatukan fisi hal-hal semacam ini. Sehingga mujtahid terkenal di abad ini, Syaikh Yusuf Qardawi menyatakan bahwa merupakan hal yang bodoh dan mustahil menyatukan semua pendapat di dalam Islam dalam masalah furu' (cabang) karena tabiat agama Islam memang menghendaki adanya bergamai macam penafsiran atau perbedaan selain berbagai macam factor lainnya.

SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA

Al-Irsyad berdiri setelah berdirinya Jamiat Khair yaitu organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta yang hanya khusus bergerak dalam bidang pendidikan. Salah satu tokoh penting dan sangat berpengaruh adalah Ahmad Soorkatty (Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assorkatty) dari keturunan Sudan, waktu itu termasuk wilayah Mesir.

Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu daerah Dunggulah, Sudan. Ia sudah menghafal Al-Qur'an di usia mudanya berkat ketekunan dan kasih sayang ayahnya menggembleng anaknya yang juga merupakan ulama besar yang terkenal. Setelah ayahnya meninggal dunia, ia melanjutkan belajarnya ke Al-Azhar, Mesir. Sampai kemudian melanjutkan belajar di Makkah dan dengan thesisnya tentang Al-Qadha wal Qadar, ia meraih gelar Al 'Allamah (1326 H/1908 M) dengan asuhan guru besar Syaikh Muhammad bin Yusuf Alkhayaath dan Syaikh Syu'aib bin Musa Almaghribi.

Pengembaraannya ke Indonesia bermula dari permintaan Jami'at Khair di Indonesia untuk mengajar. Melalui perantaraan Syaikh Muhammad bin Yusuf Al-Khayyath dan Syaikh Husain bin Muhammad Al-habsyi sampailah maksud Surkati untuk memenuhi permintaan Jami'at Khair dengan membawa bekal keyakinan "mati di Jawa dengan berjihad lebih suci daripada mati di Makkah tanpa jihad." Akan tetapi setelah beberapa lama terjadi ketidakharmonisan hubungan antara pihak Jami'at Khair dengan Surkati, akhirnya Surkati keluar dan kemudian setelah berdiri dan berkembangnya pendidikan madrasah Al-Irsyad, ia menjadi pengajar di madrasah Al-Irsyad. Keberadaan Surkati di Al-Irsyad meroketkan organisasi tersebut jauh meninggalkan Jami'at Khair. Di samping memang Jami'at Khair terdapat banyak kelemahan di dalam sosiokulturalnya, di antaranya masih memandang tentang perbedaan status sosial.

Kedatangan Surkati di pulau Jawa bulan Maret 1911 ternyata kemudian menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, yaitu sejarah pekembangan faham pembaharuan Islam di Indonesia terutama karena kegiatannya yang suka bergelut dalam bidang pendidikan ketimbang keorganisasian Al-Irsyad itu sendiri.

Pada saat Ahmad Surkati mengujungi sahabatnya, Awad Sungkar Al-Urmei di Solo tahun 1912, dalam perjalanannnya bertemu dengan tokoh pribumi (Ahmad Dahlan) yang sedang asyik membaca majalah Almanar dan mengaguminya karena kemampuannya membaca bahasa Arab. Di samping itu memang karena jalan pikirannya yang sama tentang pemahaman pemurnian aqidah sehingga keduanya menjadi akrab. Dalam pertemuan dan perkenalannya inilah terjadi tukar pikiran antara keduanya sampai pada kesimpulan yang mengandung tekad mereka berdua untuk sama-sama mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia.

Pada waktunya di kemudian berkembang pesatlah organisasi pembaharu yang menjadi terkenal dan besar di Indonesia hingga saat ini, yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah dan kemudian menyusul pada tahun 1912 berdiri Muhamadiyah oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dan pada tahun 1923 berdiri pula organisasi yang sepaham yaitu Persatuan Islam di Bandung.

Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yang disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tercatat pengurus pertamanya adalah:

  • Salim bin Awad Balweel sebagai ketua.
  • Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris.
  • Said bin Salim Masy'abi sebagai bendahara.
  • Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.

Setelah keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal itu, pada hari Selasa tanggal 19 Syawwal 1333/31 Agustus 1915, telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam rapat itu diputuskan susunan pengurus untuk kepentingan intern:

  • Salim bin Awad Balweel sebagai ketua.
  • Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai wakil ketua.
  • Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris.
  • Said bin Salim Masy'abi sebagai bendahara.

Pengurus ini dilengkapi dengan 19 orang sebagai komisaris yang berkewajiban mengawasi jalannya perhimpunan dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya, yaitu:

  1. Ja'far bin Umar Balfas.
  2. Abdullah bin Ali Balfas.
  3. Abdullah bin Salmin bin Mahri.
  4. Abdullah bin Abdulqadir Harharah.
  5. Sulaiman bin Naji.
  6. Ahmad bin Thalib.
  7. Muhammad bin Said Aluwaini.
  8. Ali bin Abdullah bin 'On.
  9. Mubarak bin Said Balwel.
  10. Awad bin Said bin Eili.
  11. Said bin Abdullah Basalamah.
  12. Awad bin Ja'far bin Mar'ie.
  13. Salim bin Abdullah bin Musa'ad.
  14. Said bin Salim bin Hariz.
  15. Aid bin Muhammad Balweel.
  16. Abud bin Muhammad bin Al-Bin Said.
  17. Ghalib bin Said bin Thebe'.
  18. 'Abid bin Awad Al-'Uwaini dan
  19. Mubarak Ja'far bin Said.

Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas merupakan tokoh pendukung utama yang pada saat kelahiran Al-Irsyad sebagai penyumbang dana terbesar walaupun tidak aktif dalam kepengurusan, yaitu sekitar uang sejumlah 10.000 ton beras jika dibandingkan jumlah beras pada waktu itu.

Selain itu terdapat tokoh-tokoh terhormat dan terpercaya lainnya yang juga tidak masuk dalam kepengurusan seperti Sayyid Abdullah bin Abudakar Al-Habsyi, Sayyid Abdullah bin Salim Alatas dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

ARAH PERJUANGAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA

Perjuangan dan cita-cita Al-Irsyad serta keyakinannya dapat dilihat dalam apa yang disebut "Pedoman Asasi Al-Irsyad", yaitu:

  1. Hakekat Al-Irsyad

    Organisasi ini menamakan dirinya sebagai perhimpunan yang bertujuan memurnikan pemahaman tauhid, 'ibadah dan 'amaliyah Islam dan bergerak dalam bidang pendidikan, pengajaran, kebudayaan dan dakwah Islam serta kemasyarakatan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah guna mewujudkan pribadi Muslim dan masyarakat Islam menuju keridhoan Allah SWT.
  2. Mabadi' Al-Irsyad

    1. Memahami ajaran Islam dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dan bertahkim kepadanya.
    2. Beriman dengan aqidah Islamiyah yang berdasarkan nash-nash Kitab Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih, terutama bertahud kepada Allah yang bersih dari syirik, takhayul dan khurafat.
    3. Beibadah menurut tuntunan Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, bersih dari bid'ah.
    4. Berakhlak dengan adab susila yang luhur, moral dan etik Islam serta menjauhi adat istiadat, moral dan etik yang bertentangan dengan Islam.
    5. Memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi dan ukhrawi yang diridhoi Allah SWT.
    6. Meningkatkan kehidupan dan penghidupan duniawi pribadi dan masyarakat selama tidak diharamkan oleh Islam dengan nash serta mengambil faedah dari segala alat dan cara teknis, organisasi dan administrasi modern yang bermanfaat bagi pribadi dan ummat, materiil dan spiituil.
    7. Bergerak dan berjuang secara terampil dan dinamis dengan pengorganisasian dan koordinasi yang baik bersama-sama organisasi-organisasi lain dengan cara ukhuwah Islamiyah dan setia kawan, serta saling Bantu dalam memperjuangkan cita-cita Islam yang meliputi kebenaran, kemerdekaan, keadilan dan kebajikan serta keutamaan menuju keridhoan Allah.

Perkembangan oganisasi Al-Irsyad kurang begitu pesat jika dibandingkan dengan organisasi yang lahir jauh sesudahnya seperti Muhammadiyah dan NU. Hal ini bisa dilihat karena kebanyakan para pengurus dan pendukung organisasi ini adalah dari kalangan keturunan Timur Tengah (Arab). Adanya jarak antara masyarakat keturunan Arab dengan pribumi menyebabkan sosialisasi organisasi ini kurang menyentuh atau melebar ke masyarakat pribumi.

Dilihat dari pergerakan keorganisasiannya, Al-Irsyad lebih cenderung penekanannya dalam bidang sosial pendidikan. Mengenai masalah perpolitikan, organisasi ini cenderung bersifat netral atau kurang menyentuhnya sehingga pada hal-hal yang justru mengandung nilai perjuangan yang tinggi yaitu perjuangan untuk ummat Islam dapat menjalankan syari'atnya dengan kafah di negara RI, kurang mendapat respon. Hal ini tidak jauh berbeda dengan organisasi-organisasi keagamaan Islam besar lainnya sepeti NU dan Muhamadiyah yang cenderung menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar/azas negara RI dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan alasan tidak ada larangan menjalankan kebebasan agama di dalamnya. Sementara perjuangan penegakkan syari'at Islam di Indonesia sebagian besar hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh dan kaum militan Islam dan sayangnya kelompok ini adalah kelompok minoritas.

Memang jika dalam pemahaman yang netral universal Pancasila itu sendiri diLihat dari redaksionalnya telah mewadahi berbagai umat beragama dan kepercayaan untuk melaksanakan sesuai keyakinannya, tetapi sesungguhnya yang terjadi selama ini adalah pemahaman yang secara sepihak dibiaskan oleh pemerintah menurut pemahamannya sehingga pelaksanaan "Kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya" sebagai nilai yang terkandung di dalam sila pertama Pancasila tidak pernah terwujud dengan menyeluruh. Yang terwujud hanyalah masalah hukum-hukum seperti pernikahan, waris, dan sejenisnya yang belum menyentuh kepada hukum-hukum yang lebih jauh yang telah sedemikian detail ada dalam hukum syara'.

Belum lama terdapat suatu kejadian yang mungkin menjadi sejarah yang penting bagi pelaksanaan hukum-hukum syari'at Islam di Indonesia tatkala kelompok Laskar Jihad pinpinan Ja'far Umar Thalib, di Maluku terjadi pelaksanaan hukum rajam bagi pelaku zina sesuai syarat-syarat yang telah ditentukan menurut syara'. Di sini seharusnya peran pemerintah sebagai fasilitator. Dimana ada rakyatnya yang dengan suka rela mau menggunakan hukum syari'at Islam sebagai keyakinannya dan pemerintah tidak perlu menghalanginya karena itu adalah keyakinan agamanya yang telah dijamin kebebasannya dalam Pancasila. Tetapi malah justru pimpinan Laskar Jihad itu ditankap dan dipojokkan. Kecuali jika si pelaku kejahatan itu tidak mau dan berlindung kepada hukum negara, barulah negara turut campur didalamnya. Maka dalam hal ini para ulama telah lepas dan bebas dari kewajibannya menjalankan hukum fardu kifayah kepada sipelaku zina tersebut dengan beralihnya permasalahan hukum ke tangan pemerintah atas dasar "tidak ada paksaan di dalam agama Islam." Jikalau pemerintah memiliki alasan kuat karena belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur hal itu, disitulah kesalahan yang fundamental. Hal ini karena mengesamingkan pemasalahan dasar kehidupan beragama dan bernegara tidak tuntas dan lebih mementingkan ekonomi dan duit yang terbukti di jaman reformasi sekarang ini duit dan kekayaan hanya lari pada segolongan atau segelintir orang sementara kebanyakan rakyat menderita kemiskinan, pengangguran dan krisis sosial yang berat. Kesenjangan sosial yang dahsyat ini sesungguhnya mengandung ancaman yang sangat besar terhadap potensi perpecahan.

Akibat dari dasar pengaturan kehidupan sosial ekonomi, keagamaan, kenegaraan dan tata kehidupan internasional yang tidak jelas inilah sumber dari segala sumber mala petaka. Hukum fardu kifayah ummat untuk ummat Islam di Indonesia dapat menjalankan syariat secara kaffah masih mengena kepada setiap yang mengaku bersungguh-sungguh memeluk agama Islam selama perjuangan itu belum terwujud.

PENDIDIKAN SEKOLAH DI AL-IRSYAD

Al-Irsyad membagi jenjang pendidikannya sebagai berikut:

  • Awwaliyyah untuk 3 tahun pelajaran
  • Ibtidaiyyah untuk 4 tahun pelajaran, dimana kedua jenjang pendidikan ini erupakan pendidikan tingkat pemula atau dasar.
  • Tajhiiziyyah untuk 2 tahun pelajaran, yang merupakan jenjang lanjutan atau menengah.
  • Mu'allimin untuk 4 tahun pelajaran yang mengarahkan murid-murid untuk langsung mengajar sebaai asisten.
  • Terakhir adalah Takhassus untuk masa 2 tahun pelajaran, yaitu spesialisasi yang dipilih siswa.

Penjenjangan itu pada mulanya dilaksanakan pada kelas-kelas, belum pada sekolah, artinya seluruhnya dalam satu sekolah dan satu bangunan. Ini disebabkan karena beragamnya siswa dilihat dari segi usia masing-masing. Siswa yang tingkat kecerdasannya tinggi, bisa saja dalam waktu singkat dipindahkan ke kelas yang jenjangnya lebih tinggi. Dengan demikian seluruh jenjang itu tidak harus ditempuh siswa selama 13 tahun.

Pada dasarnya di sekolah Al-Irsyad itu diajarkan pelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran terpenting, sebagai alat utama untuk memahami Islam dari sumber-sumber pokoknya. Selain itu tekanan pendidikan juga diarahkan kepada pelajaran Tauhid, fiqh dan sejarah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Al-Irsyad merupakan sarana pembentuk watak, cita-cita dan kemauan serta mengarahkannya kepada ajaran yang benar dari Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pembaharuan yang memiliki pengaruh jangka panjang sesuai dengan konsepsi Muhammad Abduh.

Tercatat sebagai tokoh-tokoh pendidikan yang terkenal yang menjadi pengajar pada Madrasah Al-Irsyad adalah:

  • Syaikh Ahmad Surkati, lulusan darul Ulum Makkah.
  • Syaikh Ahmad Al-Aqib Al-Anshari, lulusan Al-Azhar Cairo (1909).
  • Abul Fadhel Sati Al-Anshary, lulusan College Gordon Sudan (1911).
  • Muhammad Al-Hasyimi, lulusan AZ-Zaitun Tunisia (1907).
  • Syaikh Hasan Hamid Al-Anshary, lulusan Syari'ah Wad-diin Sudan (1908).
  • Syaikh Muhammad Nur Al-Anshary, lulusan Syari'ah Wad-diin Sudan (1912).
  • Sayyid Muhammad Alattas, lulusan Cairo.
  • Syaikh Muhammad Al-Madani, lulusan Al-Azhar Cairo.
  • Syaikh Abu Zayd Al-misri, lulusan Al-Azhar Cairo (1912).
  • Syaikh Hasan Abu Ali Ats Tsiqah, lulusan Darul 'Ulum Makkah.
  • Sutan Abdul Hamid, guru bahasa Arab dan sederetan nama-nama besar lainnya.

DAERAH PENYEBARANNYA

Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al-Irsyad membuka cabangnya yang pertama di Tegal dengan diketuai oleh Ahmad Ali Baisa.

20 Nopember 1917 disahkan keputusan pembukaan cabang Al-Irsyad yang kedua yaitu di Pekalongan dengan ketua pertama kalinya Said bin Salim Sahaq.

Cabang Al-Irsyad yang ketiga dibuka di Bumiayu pada tangal 14 Oktober 1918 dengan ketuannya yang pertama Husein bin Muhammad Alyazidi.

Pada tanggal 31 Oktober 1918 Al-Irsyad membuka cabangnya yang ke empat di Cirebon dengan ketua petamanya Ali Awad Baharmuz.

21 Januari 1919 dibuka cabang ke lima di Surabaya. Pembukaan cabang di Surabaya ini dinilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah Al-Irsyad, karena kedudukan Surabaya waktu itu sebagai pusat kegiatan pergerakan Islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat Muslimin pada waktu itu. Cabang ini pertama kalinya diketuai oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib.

Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat bedirinya cabang-cabang Al-Irsyad di Lhoseumawhe (Aceh), Menggala (Lampung), Sungeiliat (Bangka), Labuan Haji dan Talewang (Nusa Tenggara Barat), Pamekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil, Sepanjang, Semarang, Comal, Pemalang, Purwoketo, Gebang Indramayu, Cibadak, Sindanglaya dan Solo.

Sampai tahun 1970-an, Al-Irsyad telah tersebar cabangnya sampai ke seluruh propinsi Sulawesi Utara. Dan hingga sekarang pada umumnya tiap propinsi telah berdiri cabang Al-Irsyad. (Ahmad Diar)

Sumber: Rujukan utama AL-IRSYAD MENGISI SEJARAH BANGSA, H. Hussein Badjerei


Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentar menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benal